Seorang pemain serang sebuah kesebelasan menggiring bola. Permukaan lapangan yang tidak cukup rata membuat liukan tubuh kakunya mengecoh lawan berjalan kurang mulus. Bola masih di dalam penguasaannya. Serangan balik cepat dalam tempo game yang juga cepat, membuat dua rekannya gelandang sayap kiri dan kanan overlap. Berpacu dengan derap langkah pemain lawan, pemain serang tampaknya harus mengambil keputusan. Giringan bola di kakinya tinggal belasan sentimeter dari kotak enambelas. Dia melihat celah. Dan keputusan pun diambil; sebuah tendangan keras spekulatif. Bola menghujam keras, tapi bukan ke dalam gawang! Papan reklame pinggir lapanganlah yang jadi sasaran. Byarrr!! Rekan-rekan yang menyokong dari second line tampak kecewa. Kenapa bola tidak dioper saja. Bukankah, pemain belakang lawan sudah kalang kabut dan mereka sudah tak terjaga?
Itulah secuil cuplikan pertandingan salah satu Liga Super Indonesia (LSI). Dari televisi siaran itu juga, komentator tivi berteriak, “Oh my God! Tendangan yang sangat spekulatif. Terlalu ambisius pemain nomer tujuh ini. Padahal, kalau dia mau sedikit lebih bersabar membawa satu-dua langkah lagi giringan bola, dia bisa memberikan sodoran bola matang kepada rekannya nomer sembilan, si gelandang sayap kiri!”
Komentator kedua tak mau kalah komentar, “Anda betul sekali, Bung! Barangkali si nomer tujuh ini ingin berbuka puasa gol. Sudah lima pertandingan dia puasa gol!”
Alhasil, tak lama kemudian, serangan balik kedua terjadi. Kali ini masih si nomer tujuh, masih dari tim yang sama, yaitu tim pemain yang dikatakan puasa gol oleh komentator tadi. Si pemain masih dengan bola di giringan kakinya. Serangan balik cepat dalam tempo game yang juga cepat membuat dua gelandang sayap kiri dan kanan kembali overlap. Kali ini, masih tetap berpacu dengan derap langkah dan telikungan pemain lawan. Pemain serang nomer tujuh itu tampaknya harus kembali mengambil keputusan. Giringan bola di kakinya tinggal belasan sentimeter dari kotak enambelas. Dia kembali melihat celah peluang. Keputusan pun diambil; dia menyodorkan bola kepada rekannya yang overlap. Dan, sial! Sodoran bola matang itu tak menghasilkan apa-apa. Si gelandang sayap nomer sembilan hanya menendang angin! Rupanya si nomer sembilan kurang beruntung, sebelum ayunan kakinya mengenai bola, dia sudah tergelincir duluan…
Komentator tivi pun lagi-lagi berteriak, “Sungguh sangat disayangkan sekali, Bung! Si nomer sembilan hanya menendang angin! Entah kenapa si nomer tujuh tidak seperti biasanya. Tidak instingtif. Tidak spekulatif. Tidak imajinatif. Padahal, kalau dia mau sedikit bersabar lagi menggiring bola mencari celah tentu hasilnya akan lain!”.
Tentu saja lagi-lagi komentator kedua tak mau ketinggalan kata, “Betul sekali, Bung! Padahal bek lawan cuma tinggal dua orang saja di garda depan gawang. Kalau digocek-gocek sedikit sambil mencuri celah tembakan, tentu si nomer tujuh ini bisa menghasilkan sesuatu yang berbeda!”
Saya, yang merupakan salah satu penggemar berat Liga Super Indonesia geleng-geleng kepala. Bukan karena dua kejadian yang saya ilustrasikan tadi. Tapi kepada komentator-komentator tivi yang luar biasa itu. Saya tahu dan sadar betapa besar mulut para komentator itu. Di pusat penyiaran siaran langsung pertandingan, mereka bak Tuhan yang tahu apa saja yang berlaku di lapangan seharusnya. Mereka memandu pertandingan dan memberikan penilaian dengan sangat pede. Mereka merasa lebih tahu dari pelatih tim sepakbola yang sedang bermain itu sendiri. Sebagai penonton yang sering menyaksikan LSI di tivi, saya maklum-maklum saja. Saya sudah tahu kultur komentator bola Indonesia . Jangankan para pemain liga Indonesia , Cristiano Ronaldo sendiri pun, di mata komentator bola kita bisa dikupas habis dengan kritis sedetail-detailnya jika si Ciro sedang bermain jelek.
****
Mendekati 15 menit penghujung pertandingan, salah seorang komentator berujar, “Sungguh sangat buruk permainan si nomer tujuh kali ini Bung! Saya rasa, jika si pelatih bisa mendengar kita, mungkin dia akan segera menggantikannya dengan si nomer limabelas. Seorang pemain muda usia, yang haus tantangan kemenangan…”
Beberapa detik kemudian. Sebuah kebetulan yang ajaib! Si pelatih mengganti pemain nomer tujuh. Dan benar saja, ia digantikan oleh si nomer limabelas.
Tentu saja dengan nada bangga si komentator berkata mantap, “Apa kata saya tadi Bung! Rupanya si pelatih punya ikatan telepati dengan kita disini…”.
Temannya sesama komentator ikutan nimbrung, “Pelatih ternyata mendengarkan omongan kita di sini, Bung!”.
Itulah secuplik omongan para komentator bola Indonesia . Sangat pede. Sangat imajinatif. Sangat instingtif membaca alur pertandingan. Sangat investigatif dalam penilaian. Dan, tentu saja dengan seabrek “sangat-sangat” lainnya…***
Zamroni Rangkayu Itam
0 comments:
Posting Komentar