Pages

Kamis, 10 Desember 2009

Kroco


Habis masak dia bilang aku gila!” teriak Warno. ”Dia yang sudah gila. Pohon itu sudah ngaco. Tiap malam dia ngomong seenaknya. Dia memfitnah aku main sama janda itu. Dia bilang aku mencuri jemuran orang. Dia kok percaya dengan semua itu. Daripada terus-terusan bikin pusing kepala aku tebang saja. Ya, kan? Daripada ikut gila karena pohon gila!”
Kutipan di atas adalah bagian dari novel Kroco karya Putu Wijaya. Saya tambahkan satu lagi kutipan;
”Tiba-tiba dia menyuruhku mengambil kapak, lalu aku ambil kapak ke rumah. Setelah aku mengambil kapak dia bilang, ayo Warno sekarang kamu pergi ke bekas juragan kamu dan kapak kepalanya, karena kamu diberhentikan sewenang-wenang. Kapak sekarang kepalanya! Juragan itu orang culas! Kapak saja, katanya. ....Warno, ayo bawa kapak itu ke tempat Bokir, kapak saja kepalanya, dia yang memfitnah kamu sampai kamu dipecat oleh juragan kamu. ....Ayo Warno bawa kapak ke istrimu! Kapak kepalanya! Sebab, dia telah berzina dengan Kresno sebanyak lima kali, di rumah kamu sendiri, di rumah Kresno, di kebon, di pasar, dan di rumah tetangga. Kapak sekarang Warno!...”
Itulah dua paragraf yang termuat dalam Kroco. Novel Kroco bercerita tentang eskapisme. Lewat peran antagonis warga masyarakat akar rumput yang tak berdaya itu, Putu Wijaya dengan piawai menarasikan watak Warno yang diserang ketidakwarasan mental. Dan memang, eskapisme bisa menjadi semacam pelarian kejiwaan. Itulah yang dilakukan Warno dalam Kroco. Menghilangkan beban dengan cara eskapis dari titik pusarannya secara temporer—juga permanen, memang bisa diandalkan. Tidak mudah memang lari kungkungan lingkaran problema. Apalagi permasalahan yang dihadapi adalah sesuatu yang berat yang mengikis kedamaian jiwa. Ketika problema mencapai titik tertingginya, tak mampu lagi dijangkau oleh tangan pendek manusia, eskapisme menjadi jalan alternatif—walau terkadang eskapisme itu sendiri datang tanpa diminta. Eskapisme ada dan hadir saat gejolak batin meledak memburai di pundak manusia yang menanggungnya. Dan, Warno telah mengalaminya!...
Gila, atau kata halusnya kurang waras, adalah salah satu bentuk dari eskapisme. Gila adalah salah satu puncak tertinggi dari pelarian manusia dari realitas yang dihadapinya. Orang normal jelas tak bisa memasuki alam pikiran orang gila. Ketika kegilaan menyerang pusat-pusat kesadaran, tak ada lagi batas antara fakta dan ilusi. Keduanya menyatu padu dalam realitas yang hanya dipahami oleh otak si gila itu sendiri.
Nah! Gila, seperti yang termuat dalam Kroco, telah menjadi pelarian dari peran antagonisnya, Warno. Kendati Warno tetap mengaku sebagai waras, tetap saja orang di sekelilingnya memvonis bahwa Warno telah mengidap penyakit mental. Warno memang butuh pelarian. Bebannya terlalu berat. Dalam Kroco, Warno mengaku bisa bicara dengan pohon. Tiupan angin yang menggerakkan dedaunan, menggetarkan dedahanan, menimbulkan suara-suara yang seolah berbicara—yang mana secara ajaib ditafsirkan sebagai kata oleh simpul-simpul otaknya Warno.
Kroco seolah menyampaikan semacam pesan simbolis bahwa benak, pikiran, dan jiwa, saling berinteraksi. Saling bicara satu sama lain. Sama-sama bahu membahu serta berkelindan dalam realita kehidupan. Pohon, seperti yang dikatakan Warno telah berbicara dengannya, bagi pembaca bolehlah ditafsirkan sebagai simbol media invisible interaksi antara benak, pikiran, dan jiwa Warno itu sendiri. Tiga unsur—benak, jiwa, dan pikiran, memerlukan pelampiasan interaktif. Warno mewakilkan perang ketiganya melalui pohon yang ”berbicara” kepadanya.
Kroco, seperti yang dibualkan Putu Wijaya, mengajak kita menyelami alam gaib-nya benak, pikiran, dan jiwa, dengan segala bentrokan ketiganya....

Zamroni Rangkayu Itam

0 comments:

Posting Komentar