Bicara seputar sepakbola selalu menyenangkan. Bila bicara tentang sepakbola liga Eropa—apalagi kita punya tim favorit, katakanlah semacam Chelsea , Juventus, AC Milan, dll,--tentu pembicaraan bisa lebih hangat lagi karena biasanya kita punya banyak referensi tentang klub yang kita sukai itu. Namun, jika topik beranjak ke seputar persepakbolaan nasional kita, Indonesia , aura hangat liga Eropa tadi dalam sekejap mata bisa berubah suram. Gelap. Ini penglaman pribadi saya yang tak terbantahkan. Mungkin juga begitu bagi kita semua yang merasa orang Indonesia , dan punya harapan besar pada persepakbolaan nasional.
Gelap! Tak ada masa depan yang jelas. Itulah rangkaian kata kecewa terhadap persepakbolaan nasional. Terlebih lagi baru-baru ini, di SEA Games Laos, Timnas sepakbola kita terjungkal jauh dari rel medali emas seperti yang ditargetkan semula. Timnas muda U-23 kita tak berdaya melawan Laos di pertandingan. Awan suram kalah 0-2 dari Laos itu bertambah gelap di pertandingan terakhir, dimana timnas kita dibantai 1-3 oleh Myanmar. Setelah itu, habislah cerita! Mereka tinggal angkat koper dan terbang langsung ke Jakarta.
Kita semua tentu tak bisa meratap dan menyesali begitu saja. Kenapa timnas muda, harapan masa depan tim inti sepakbola negara kita itu tak punya prospek yang jelas. Harus ada banyak pembenahan. Sebab, generasi timnas sekarang, generasi Bambang Pamungkas Dkk, tinggal menunggu waktu pensiun saja lagi.
Apakah sudah tepat pola pengembangan pemain muda usia yang dilakukan PSSI di Uruguay? Apakah sudah efektif Liga Super Indonesia (LSI) kita menyetak pemain nasional berkualitas? Menilik dari prestasi, rasanya belum ada pola yang tepat. Latihan di Uruguay rasa-rasanya menghabiskan waktu dan uang saja. Apalagi kita tahu pelatih Uruguay di tim U-23 tersebut sama sekali tak bisa bahasa Inggris apalagi Indonesia. Begitu pun LSI, kita lebih sering disajikan aksi sepakbola keras ala tarkam daripada sepakbola indah nan elegan. Di LSI kita juga sering disuguhi fanatisme penonton yang rela berbuat apa saja mendukung tim favoritnya, termasuk mengitimidasi wasit dan melempar botol ke tim tamu. Juga, di pertandingan-pertandingan LSI kita lebih sering menyaksikan peragaan-peragaan olahan bola yang tak pernah mengenakkan, hanya karena lapangan stadion yang tidak rata dengan segenap kekurangan-kekurangan infrastruktur lainnya. Bisa jadi pangkal masalahnya ada di situ—pola pelatihan dan pengembangan pemain muda timnas tidak tepat, dan LSI yang kian tidak menyuguhkan pertandingan-pertandingan berkualitas akibat beberapa faktor kesalahan.
Sudah saatnya PSSI meninggalkan pola mengirimkan pemain muda ke suatu negara dengan kultur bagus sepakbola. Kita juga tahu proyek timnas primavera di tahun 90-an yang mengirim Kurniawan Dwi Julianto Dkk ke Italia, yang juga tidak memberikan pengaruh signifikan kepada kualitas timnas. Bicara kualitas tentu ada barometernya, yaitu prestasi. Apa yang telah diberikan beragam proyek tersebut kepada prestasi timnas. Tak ada sama sekali. Tak ada!
Akan lebih baik jika PSSI mau mengoptimalkan Liga Super Indonesia saja. Tentu seiring dengan itu harus ada peraturan tegas yang lebih berpihak kepada pemain muda kita. Coba lihat, apakah ada pemain muda usia yang mendapatkan tempat di tim inti klub-klub besar kita. Lihatlah Persib! Di sana, di garda depannya ada Hilton Moreira yang Brazil, Christian Gonzalez yang Uruguay, ada pula Budi Sudarsono pemain senior timnas yang lebih sering jadi cadangan. Di lini tengah Persib ada Suchao yang Thailand, di belakang ada Christian Rene, dan masih banyak lagi. Persija juga begitu, sami mawon dengan Persib. Tidak ketinggalan Arema Malang. Sama juga halnya dengan Sriwijaya. Di PSPS Pekanbaru pun kasusnya serupa. Ketika mata berpaling ke Persik Kediri, hal serupa juga ada. Praktis dari sekian banyak klub di Indonesia, hanya Persipura yang agak berpihak kepada produk asli binaannya yang asli Papua...Ini salah siapa? Masak anak negeri sendiri jadi cadangan abadi di klub yang dibiayai oleh uang rakyat? Bagaimana bisa kita punya pemain bagus kalau kesempatan main saja sangat minim?
Jika Indonesia mau memiliki timnas masa depan yang bagus, harus berpangkal dari dalam negeri kita saja. Tak usahlah jauh-jauh menerbangkan anak-anak negeri ini bermain di liga junior negara lain. Kalau bisa mengembangkan mereka yang muda tersebut di dalam negeri sendiri kenapa tidak?
Atau kalau mau jalan pintas sedikit, tentu boleh juga. Kita berkaca saja dari pengalaman timnas Irlandia yang pernah mengumpulkan pemain-pemain mereka yang lahir dan besar serta bermain di liga Inggris untuk membela Irlandia. Karena memang banyak diaspora Irish di Britania Raya. Kita, Indonesia, tentu bisa melihat peluang serupa di negeri kincir angin, Belanda. Ada sekian banyak diaspora orang nusantara ini di sana. Kalau mau lebih serius meneliti apakah ada peranakan Indonesia bermain di liga Belanda, tentu pengalaman Irlandia bisa kita adaptasi. Belanda, dengan kultur sepakbola yang sudah mengakar, tidak mustahil peranakan Indonesia yang bermain di berbagi divisi liga Belanda tersebut bisa menjadi formula ampuh bagi timnas sepakbola kita. Tentu jalan ini harus ada kajiannya dulu. Baik dari segi hukum, prospek pemain tersebut, dsb...
Itu saja aku rasa. Semoga awan gelap timnas Indonesia segera berlalu!
Zamroni Rangkayu Itam
0 comments:
Posting Komentar