Pages

Kamis, 19 November 2009

Untung Nggak Kalah!*


“Syukur nggak kalah!”
“Iya. Hasil seri aja udah terlalu bagus!”
Begitu celetukan dua orang teman saya mengomentari hasil pertandingan sepakbola antara Indonesia vs Kuwait. Saya dalam diam mengangguk setuju. Hasil imbang 1-1, bagi Indonesia yang berjuang keras lolos dari kualifikai AFC Cup Qatar 2011 tersebut, hasil ini adalah yang terbaik. Kalau Anda menonton pertandingannya, mungkin Anda akan juga akan sependapat.
Babak pertama baru dimulai, belum berjalan lagi pertandingan selama 15 menit, dua pemain Indonesia sudah dapat ‘hadiah’ kartu kuning. Ganjaran yang sangat wajar dan pantas untuk pelanggaran yang sebenarnya tidak terlalu ‘perlu’. Praktis selama 45 menit babak pertama, ritme pertandingan dikuasai Kuwait. Sedangkan Indonesia, sesekali menyerang dan merengsek masuk pertahanan lawan melalui Boaz Salosssa, Budi Sudarsono, dan Firman Utina.
Sejak menit pertama bola bergulir, aloma lucky, atau keberuntungan sudah terlihat berada di pihak Indonesia. Sekian banyak serangan yang dilancarkan Kuwait, selalu menemui jalan buntu. Gawang Markus Horison seolah dijaga mantra. Tendangan dan sundulan pemain Kuwait, kalau tidak menyamping, ya pasti melambung. Kalau tidak dapat ditangkap sigap Markus, ya pasti kena tiang atau mistar gawang. Pokoknya malam tersebut adalah malam stres bagi pemain Kuwait.
Sebagai orang Indonesia, saya dan juga teman-teman yang bersemangat menonton di depan televisi, tentu mengharapkan Indonesia menang. Harapan yang sangat wajar. Namun sayang kenyatan yang berlaku, timnas kita seolah tak mampu mewujudkan harapan kita tersebut. Kemenangan timnas kita, selalu dirindukan oleh seluruh pecinta sepakbola tanah air. Atau, tak usah menang saja dulu, asal bermain bagus dan cantik, serta tidak bermain kasar ala tarkam, rasanya sudahlah cukup untuk mewujudkan mimpi akan kegemilangan timnas sepakbola kita. Terus terang, melihat timnas kita bermain, selalu menyisakan sesak di dada. Sudahlah bermain kasar, tak indah sama sekali, minim teknik, gagal menang pula.
Bebarapa saat babak kedua dimulai, setelah euforia gol yang dicetak Budi Sudarsono pada penghujung babak pertama, hati kita mugkin agak kesal. Apa sebab gerangan? Baru saja satu menit peluit babak kedua ditiup wasit, Ismed Sopyan sudah diganjar kartu kuning kedua—yang berarti kartu merah. Kita bisa melihat, kesalahan besar Ismed tersebut berdampak luar biasa bagi timnas secara keseluruhan. Jangankan untuk mengorganisir serangan, mampu bertahan supaya tidak kebobolan saja sudah sangat bagus. Beruntung bagi kita, gawang Markus seolah kena mantra dukun antibobol. Beberapa rekan nonton bareng saya, secara serius tapi bercanda meyakini gawang Markus sudah dipasang mantra antibobol. Bagi Anda yang menonton pertandingan tersebut, saya yakin Anda selalu menarik napas lega setiap kali pemain Kuwait melepaskan tembakan ke gawang Markus. Dari layar kaca, kita bisa melihat, bola seolah ‘enggan’ untuk singgah di dalam gawangnya Markus. Teman saya bilang, ini pasti ulah dukun Indonesia, tapi teman yang lain lebih memilih alasan pemain Kuwaitlah yang sebenarnya goblok, tak mampu bikin banyak gol, padahal kesempatan begitu berjibun.
Walaupun pada akhirnya, Kuwait berhasil menyamakan kedudukan setelah sekian banyak peluang, tapi timnas kita seolah tak mampu lagi bangkit sejak bermain dengan sepuluh orang pemain. Selama sisa babak kedua, timnas kita praktis banyak menghalau bola supaya jangan ada gol lebih banyak lagi bersarang di gawang.    
Kita, pecinta sepakbola nasional, pantas bersedih melihat realita yang ada. Barangkali untuk tahap kritis seperti ini, melihat timnas bermain perkasa dan penuh deteminasi di semua lini, hanyalah mimpi kosong belaka. Dalam batin saya sesekali pernah terbetik pikiran, kalaulah timnas yang saya nonton pada malam itu bukanlah timnas Indonesia, tak akan rela saya menonton mereka bermain yang selalu berbuah kekecewaan tersebut. Mungkin saya berlebihan, tapi itulah yang sebenarnya yang saya rasakan.
Untung nggak kalah! Itulah satu-satunya bisikan batin untuk menghibur hati saat melihat timnas bermain seri dalam sebuah penampilan mereka yang buruk.
Untung kalahnya hanya satu gol! Itu pula yang saya pikirkan untuk menentramkan rasa kecewa saat timnas kita dipecundangi lawan dengan selisih satu gol saja.
Untung tim lawan nggak banyak-banyak amat nyetak gol! Rasa itu pula yang terbetik di benak setelah lawan menghantam timnas kita dengan dua atau tiga gol tanpa balas.
Ah, kan masih ada tahun 2013! Itu pula yang akan saya katakan jika timnas kita gagal masuk putaran final piala AFC di Qatar nanti.
Betikan-betikan benak di atas, tampak eskapis sekali—melarikan diri dari perasaan realita sebenarnya. Dan, mungkin saja itu benar-benar sebuah eskapisme. Kita yang kecewa melihat timnas kita gagal bermain bagus dan gemilang, selalu mencari jalan lain untuk menghibur diri sendiri. Tak ada jalan lain memang kecuali menerima apa saja hasil yang ada. Seri, atau kalah dengan selisih gol sedikit, memang bentuk syukur atas ketidakberuntungan timnas kita.
Semoga timnas kita ke depannya bisa bermain bagus. Bermain bagus saja dulu, sebagaimana layaknya orang bermain bola. Soal kalah-menang, asal mereka menunjukan kualitas teknik permainan dan penuh deteminasi, kita semua tak akan percuma bermimpi…

Zamroni Rangkayu Itam
Catatan :
* Tulisan ini adalah refleksi atas gagalnya timnas Indonesia bermain bagus melawan Kuwait pada tanggal 18 November 2009 di Stadion GBK Jakarta. Dengan hasil 1-1 tersebut, praktis membuat peluang timnas kita kecil untuk lolos ke Qatar 2011.

0 comments:

Posting Komentar