Pages

Jumat, 20 November 2009

Kelam (Bag. 2)


Aku bangun tidur terlalu dini, jam dua malam. Bagiku, itu sudah biasa. Bukan karena apa-apa sebenarnya. Bukan karena insomnia yang jika terganggu sedikit saja langsung terbangun dari tidur. Tapi, lebih karena aku merasa memang sudah waktunya bangun. Maklumlah, mulai tidurnya saja jam tujuh, menjelang akhir sore.
Tidak seperti hari-hari biasa—saat bangun tidur langsung menenggak beberapa gelas air putih, tapi tidak dengan saat ini—sebab, tak setetes air minum pun ada di kamar. Galon Aqua kosong. Apa boleh buat, tak ada air sebatang rokok pun jadi lah. Dan, tak lama kemudian, kepulan demi kepulan asap rokok memenuhi ruangan.
Aku memang sudah terbiasa sebangunnya dari tidur tidak langsung bersegera ke kamar mandi. Paling tidak hanya duduk barang sejenak untuk mengembalikan kebugaran tubuh. Tentu saja dengan beberapa gelas air putih rasanya cukup menyegarkan. Tapi jangan salah, rokok—yang kata sebagian orang beracun dan mematikan, ternyata di situasi seperti ini bagiku cukup menyehatkan. Barangkali untuk fisik tidak sehat, kata dokter. Tapi untuk pikiran, tidak apa-apa. Itu kataku. Entah apa pula kata orang lain.
Jendela kamar kubuka agar sirkulasi udara lebih fresh. Terlihat sepintas jalanan di depan kontrakan sudah terlihat sepi. Mbak-mbak yang biasa berjualan di warungnya yang ada di depan juga sudah tutup, begitu pula tetangga sebelah, tampak lampu kamarnya mati. Barangkali sudah lelap dibuai mimpi.
Aku hidupkan televisi. Ternyata sedang ada tayangan tunda talkshow politik tengah malam. Busyet dah! Tengah malam begini bicara politik lagi. Aku matikan saja televisinya. Tak ada acara yang menarik. Politik menjengahkan kadang-kadang! Perlahan kulangkahkan kaki ke kamar mandi seraya menekuk-nekukkan kepala. Rasanya kok kepala begitu beratnya. Di cermin, akhirnya aku maklum juga, rambutku mulai gondrong dan minta dicepakin lagi.
Ah! Malam sungguh tenang. Lepas dari semua kebisingan. Suara-suara malam sangatlah berbeda dengan suara-suara siang. Malam, sejauh mata memandang ke atas cakrawala hanyalah rona gelap pekat, kendati ia dihiasi oleh kerlipan bintang dan temaramnya lampu-lampu listrik di bawahnya. Gelap bukan berarti pertanda duka, setidaknya hanya dalam konteks malam. Sedangkan siang, seberapa pun terangnya, bukan berarti ia lebih baik dari malam. Tapi kenapa semua orang berlomba-lomba menghabiskan semua energi hanya untuk siang, sedangkan di pangkal malam mereka sudah terkapar? Aku tidak benci siang, karena di waktu itu aku juga berutinitas seperti orang lain kebanyakan. Hanya saja, aku lebih menyukai malam.
Detik-detik jam malam terus beranjak. Udara malam memang dingin, tak terkecuali juga dengan airnya. Guyuran demi guyuran air membasahi setia inci tubuhku. Di luar sudah tidak ada orang ngehe yang menggeber suara motor seenak perutnya. Barangkali, di kamar pojok kontrakan ini juga sudah sepi dari cekikikan- cekikikan yang bikin heboh suasana. Sekarang, disini, malam sudah mendekati nilai-nilainya yang paling substansial; tenang dan damai. Itulah yang ingin kurengkuh. Walaupun tak ada nada dan irama malam yang begitu indah seperti di damainya suasana malam di desa-desa dengan aneka nyanyian binatang malam seperti jengkrik, bukan berarti malam di pinggiran kota metropolitan tidak bisa dinikmati dengan sepenuh hati. Seberapa sumpek dan bisingnya sebuah kota, di waktu malam tetap saja ada pesona—yang tidak dapat ditemui di siang hari. Coba saja dibuktikan sendiri.
Segar memang habis diguyur air. Andai ada segelas minuman hangat setelah itu, tentu lengkaplah ketenangan itu. Sekelebatan suara berputar di pikiranku.
“Malam tetaplah malam…”
Memang harusnya begitu, kan?
“Iya. Tapi adakah ia dirasakan?”
Dirasakan seperti apa?
“Ya, seperti layaknya malam…”
Maksudmu?
“Malam itu hening. Damai. Cukup jiwa yang rasakan keadaannya…”
Aku tidak terlalu mempedulikan suara itu. Jauh di kedalaman, kudengar aku bernyanyi.
you’re everything I try to find
you willl always be beautiful in may eyes…*)


Zamroni Rangkayu Itam
*) catatan; kutipan di atas adalah lirik lagu yang berjudul beautiful in my eyes, dinyanyikan oleh Joshua Kadison.


0 comments:

Posting Komentar