Pages

Kamis, 12 November 2009

Palsu


SAYANG sekali kepalsuan itu samar, tidak bisa dilihat sekilas dengan mata telanjang. Kesamarannya menipu siapapun yang tidak dapat melihat bentuk lahiriahnya. Tapi, apakah kepalsuan itu bisa dilihat? Adakah ia eksis dalam sebuah bentuk mengarungi ruang waktu? Bisakah kita menganalisa bentuk-bentuknya? Sayang sekali, kepalsuan itu samar, jangankan bagi mata orang katarak, di mata elang sekali pun masih terlihat samar.
Kepalsuan tidak dapat disentuh dan diraba eksistensinya, hanya dapat dirasakan nilai-nilainya. Lalu bagaimana kita mengetahui kepalsuan persisnya? Apakah kita membutuhkan cahaya untuk menembus tabir kesamarannya? Kalau iya, dari mana kita tahu kalau kepalsuan itu ada di kegelapan, berkubang dalam warna kelam?
Ah, bukan. Bukan cahaya yang kita butuhkan. Menyingkap tabir kesamaran kepalsuan tidak ada hubungannya dengan cahaya. Tidak cahaya matahari, cahaya lampu, apalagi cahaya senter. Bukan. Bukan itu yang kita butuhkan! Kepalsuan itu tidak tersuruk di ranah kegelapan. Kepalsuan itu tidak terikat dengan dengan warna. Kepalsuan bukan hitam putih, hanya saja kepalsuan itu tersamar.
Bagaimana kepalsuan bisa eksis, dipelihara dan dikembangbiakkan? Apa tidak cukup kambing atau sapi saja yang dikembangbiakkan? Apakah tidak cukup hanya dengan diri kita yang original saja yang eksis? Jangan-jangan kita memang membutuhkan kepalsuan, yang sewaktu-waktu bisa kita gunakan untuk menutupi diri kita yang asli, ya, untuk mencapai suatu tujuan, misalnya. Atau sama sekali kepalsuan harus kita musnahkan. Bukankah uang palsu saja menjadi musuh bersama? Kendati ada segelintir orang yang mengambil keuntungan darinya. Itu hanya masalah kecil di lingkungan kepalsuan-kepalsuan lain yang jauh lebih besar. Uang palsu gampang dideteksi dan dikenali. Cukup dengan mengenali uang asli dengan baik, uang palsu dengan mudah dikenali sebagai palsu. Ah. Bung! Bukan uang palsu yang kita masalahkan. Terlalu cetek. Biarlah pihak bank dengan iklan layanan masyarakat-nya yang mengurus itu semua.
Lalu bagaimana dengan kepalsuan yang tidak gampang dikenali? Bagaimana mengetahui palsunya kata-kata, janji, senyuman, atau palsu tidaknya cinta dan perasaan? Tidak ada petunjuk bakunya itu semua, Bung, apalagi iklan. Tidak. Tidak ada iklan yang menuntun untuk itu. Lalu, bagaimana?
Itulah Bung, masalahnya! Sayang kepalsuan itu samar.
Walaupun terserak bak sampah jalanan, kepalsuan memang ada dimana-mana. Kepalsuan menyusup mulai dari gorong-gorong jalanan hingga atap-atap gedung mewah. Ia berkamuflase dengan tempatnya, mulai dari tempat-tempat maksiat pelacuran hingga rumah-rumah ibadah. Ia hidup berkembang mulai dari kubangan sampah sampai wilayah yang paling suci sekali pun. Kepalsuan juga merasuki jiwa manusia dan gentayangan di kehidupan orang-orang kerdil hingga orang-orang paling gede sekali pun.
Lalu bagaimana kita melihatnya? Dengan alat apa kita mengidentifikasi sebuah kepalsuan?

Ah, Bung! Itulah masalahnya. Bagaimana. Kepalsuan itu samar. Ia ada dan hidup karena ada kita yang memeliharanya.
Sayang! Teramat sayang…

Zamroni Rangkayu Itam
source image : images.com

0 comments:

Posting Komentar