Pages

Selasa, 10 November 2009

Keren


Siapapun ingin melekat dengan kata ”keren”. Entah itu penampilan, pandangan, cara bicara, dst, yang pokoknya tentu saja berbau keren. Siapa saja pasti ingin keren, apalagi orang yang pada dasarnya memang tidak keren. Tak heranlah segala upaya dilakukan supaya bisa keren. Cobalah kita lihat televisi, apa iklan-iklan yang ada disana? Pasti banyak produk yang menawarkan kita untuk menyulap kita menjadi keren. Iya kan? Kita semua tahu itu. Iklan-iklan produk untuk proses peng-keren-an itu bejibun karena ada kita-kita yang mau tampil keren. Kita tahu sebuah iklan akan mati apabila produk yang diiklankan itu tidak terjamah oleh konsumen, maka dengan sendirinya iklan berikut produknya itu akan hilang dari peredaran. Yakinlah itu, kalau tidak percaya tanya pada pakar advertaising! Produk untuk keren ada karena banyak orang ingin keren. Cukup logis bukan? Ini baru dalam satu sisi, keren dari segi penampilan.
Lalu bagaimana dengan keren-keren yang lain? Keren karena sebuah pemikiran misalnya.
“Busyet dah! Keren banget pemikirannya…”
Begitu kata seorang teman saya, seorang mahasiswi filsafat, ketika selesai membaca Madness of Civilization-nya Foucault. Ini satu contoh, saudara, betapa pemikiran bisa keren juga. Maka janganlah heran jika banyak orang yang berusaha meng-keren-kan pemikirannya. Buat orang yang seperti itu dibuatlah gaya seolah-olah intelek, bahasa sehari-hari pun direcokin dengan segala istilah ilmiah kontemporer—kendati terkadang bisa jadi tak tepat guna diksinya. Orang yang seperti ini—berlagak intelek, dimata orang goblok, dungu dan tolol bisa jadi kesannya benar-benar intelek. Tapi bagaimana di mata orang yang paham apa yang dia ucapkan? Kan tak lebih dari seorang badut yang berlagak pintar. Ya, nggak?
Benar, Kawan! Keren selalu ingin kita kesankan pada diri kita. Entah kita akui ataupun kita pungkiri, entah yang kita sengajakan ataupun yang tidak. Keren, dalam hal apapun tak masalah sebenarnya, asal kita tahu inti dari keren itu untuk apa, dan asal jangan asal keren saja. Keren itu harus diusahakan semampunya dan tidak usah dipaksakan. Jangan sampai karena ingin berlagak keren tapi yang ada malah narsis. Kan nggak enak sama diri sendiri. Iya, kan?
Dan juga, Kawan! Jangan sampai keren merecoki akal sehat kita. Sebab teman saya pernah bilang kepada teman saya yang lain yang lagi kena musibah, begini katanya;
“Ah lu Brur! Masak jatuh dari pohon kelapa? Nggak keren! Jatuhnya dari Mercedez atau paling nggak Ninja kek..!”
Hahaa, Kawan. Kalau begitu keren yang Anda pikir, seperti yang teman saya katakan itu, berarti otak Anda sama dengan otak teman saya yang tak lebih baik dari otak udang itu.
Ah, Brur! Jangan pula nanti Kau bilang kepada temanmu begini, “Matinya nggak keren. Masak ditabrak becak! Ditabrak Porsche kek napa…”
Hahaha, kawan, Mate Maho!!
Piss. Kawann…!!

Zamroni Rangkayu Itam


0 comments:

Posting Komentar