10 November 2009
*******
10 November adalah Hari Pahlawan. Hari bersejarah sekaligus berdarah-darah. Hari yang penuh dengan pekikan Merdeka atau mati. Hari kedaulatan negara diuji dengan tebusan darah dan nyawa. Itulah hari yang tidak mungkin luput dari ingatan anak bangsa ini.
Adalah kota Surabaya yang menjadi medan laga berdarah itu. Ketika Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pasca pem-bumihangus-an Hirosima-Nagasaki pada tahun 1945, tentara Sekutu yang diboncengi oleh NICA (Netherlands Indies Civil Administration) ternyata ada maksud lain selain dari melucuti senjata tentara Jepang, yaitu untuk menguasai kembali Indonesia . Ini jelas tidak dapat diterima oleh semua pihak di Indonesia . Proklamasi kemerdekaan yang diikrarkan pada 17 Agustus 1945 mau tak mau wajib dipertahankan. Apapun resikonya. Termasuk perang habis-habisan sekali pun.
Benar saja, singkat cerita perang pun terjadi setelah beberapa rangkaian kejadian yang menyulutnya. Tentara sekutu yang bersenjata lengkap harus bersusah payah menghadapi Indonesia yang bersenjata seadanya. Perang yang dijangkakan selama hanya tiga hari oleh pihak Sekutu pun berlangsung sekitar sebulan. Sekutu memang mempunyai pesawat tempur, tank, armada laut. Tapi itu hanya sebatas senjata belaka, karena Indonesia punya semangat untuk mempertahankan setiap jengkal tanahnya. Rentetan desingan peluru, hujan bom dari pesawat tempur serta hantaman meriam dari armada perang sekutu disambut pekik perlawanan pejuang kia, Merdeka atau mati. Indonesia memang kalah dalam perang itu. Surabaya dikuasai oleh pihak sekutu. Setidaknya ada 16.000 orang pejuang Indonesia gugur. Sedangkan pihak sekutu ada sekitar 2.000 orang yang tewas mampus.
Arek-arek Suroboyo. Begitulah kita menyebut gelora juang para tentara, pemuda, dan masyarakat kita melawan tentara Sekutu pada hari itu. Dan kini, perlahan tapi pasti hari itu kian menjauh dari kita semua. Di tahun 2009 ini, mungkin anak-anak Indonesia sangat sedikit mendengar hikayat dari para orang tua mereka tentang semangat juang para pendahulu kita. Ini wajar saja. Waktu kian menjauh, ruang yang tampak seakan semakin sayup-sayup di mata. Mengenang Hari Pahlawan tidaklah untuk membuka luka lama yang berdarah-darah. Bukan pula memutar kembali ingatan akan gambaran puing-puing hancur berantakan. “Melihat” 10 November berarti merasakan semangat gelora cinta tanah air yang menggelegak. Kemerdekaan tidak diperoleh dengan mudah. Ada air mata dan darah mengalir di dalamnya.
“Membaca” 10 November berarti melihat sosok pejuang. Sosok pahlawan. Dalam hal ini, kita tentu tidak hanya terpaku kepada para pejuang yang mati-matian dalam peristiwa Arek-arek Suroboyo itu saja. Tapi juga para pejuang-pejuang yang lain dalam ruang dan waktu yang lain seluruh Indonesia . Momen 10 November bukan hanya seremonial tabur bunga di makam pahlawan belaka. Momen ini tidak mengajak kita untuk menangisi pengorbanan mereka tapi untuk menjaga apa yang telah mereka wariskan; yaitu semangat perjuangan.
Jarum jam memang selalu berputar maju, tak akan pernah mundur. Perlahan pula peristiwa 10 November 1945 kian sayup-sayup. Para veteran Arek-arek Suroboyo satu persatu menghadap ilahi. Dan suatu ketika kelak, tak satu pun mereka akan bertahan dalam balutan zaman. Generasi lama akan berganti dengan generasi baru. Panggung 10 November 1945 akan sama sekali lain dengan panggung-panggung di tahun 2009 dan selanjutnya. Ada perbedaan ruang waktu di situ. Itu adalah hal yang wajar. Tapi hanya satu yang tidak boleh kita kesampingkan, yaitu semangat perjuangan.
Peristiwa 10 November 1945 yang kita kenal dengan Hari Pahlawan itu, dalam konteks sekarang, memang perlu kita adaptasikan semangatnya ke dalam konteks bangsa kekinian. Dengan demikian semangat 10 November akan terus hidup di dada anak bangsa ini.
Zamroni Rangkayu Itam
0 comments:
Posting Komentar