Pages

Sabtu, 14 November 2009

Kelam



Sayang nian malam itu kelam—tak ada cahaya benderang sang surya. Cobalah lihat ke langit sana di waktu malam—hanya ada cahaya pantulannya saja—temaram, dan terkadang hilang di balik kabut kekelaman. Atau, Kamu bilang kerlipan bintang itu indah—seperti menari dalam kedipan cahaya—Kau salah, kerlipan itu menipu. Kerlipan ada karena ada balutan atmosfer.
Sayang bana malam itu kelam—membuat orang buta, tak mampu menembus tabirnya. Kamu sendiri dan kita semua membutuhkan alat penolong yang kita sebut lentera—alat penerang; apakah itu lampu listrik, lampu minyak, senter, dan lampu-lampu lainnya yang tercipta akibat ketidakmampuan menghadapi malam. Barangkali itulah diri kita—yang mata dan pikirannya terbatas kepada yang terang-terang saja, sehingga di saat kekelaman melanda, tangan kita tergapai-gapai mencari titik-titik benderang cahaya. Ya, itulah diri kita—karena kita selalu beralasan dan merasakan malam itu kelam.
Lihatlah! Betapa senangnya kita ketika fajar terterangkan—suara hiruk-pikuk kehidupan mulai menggeliat. Ayam jantan berkokok garang, suara panggilan adzan subuh melantang—dan, ya benar, awal waktu terang menyentakkan setiap inci tubuh kita untuk bergeliat hidup. Saat terang bertambah benderang, mata kita mampu menembus horizon nun jauh sana. Itulah keajaiban cahaya—yang melahirkan terangnya benderang.
Tapi bagaimana dengan malam?
Sayang banget malam itu kelam, itu kata kita. Lihatlah pula! Betapa hati kita berubah sendu saat senja turun dan tenggelam di balik bukit pantai. Cahaya keemasan senja yang hanya sebentar itu lantas segera berganti dengan titik-titik kelam—menggumpal di setiap ruang yang dikawal waktu. Saat semuanya berubah itulah hati kita terkadang kecut—lalu membutuhkan cahaya buatan—sebab alam hanya menyediakan sedikit pantulan, sisa-sisa dari benderangnya siang. Itulah diri kita—selalu lemah menghadapi kekelaman. Tapi apakah memang demikian secara alamiahnya—hingga malam hanya menjadi terbatas sisa waktu yang dikungkungkan dalam lelap yang (lumayan) panjang?
Iya. Barangkali begitu katamu, dan mungkin kata kita semua! Siang adalah waktu utama dan malam tak lebih dari sisa-sisa yang yang harus diendapkan bersama mimpi di balik kelamnya masa. Siang adalah masa produktivitas kerja dalam balutan rutinitas—dan malam hanyalah masa persiapan kebugaran untuk rutinitas siang esoknya lagi. Benarkah demikian kita? Hingga tanpa sadar sang masa berlalu seakan tanpa menyapa—sebab kita tenggelam ke dalam hiruk-pikuk perputarannya. Rutinitas di siang hari seakan menempatkan kita di dalam kereta api super ekspres, supercepat—sehingga pangkal dan ujung masa terang seakan tiada berasa. Itukah kita, Kawan? Kalau benar, tak heran kita mencampakkan malam dengan segala titik-titik kelamnya jauh dari lingkaran denyut kehidupan.
Sayang sekali malam itu kelam, barangkali itu kata kita, Kawan! Terangnya benderang merampas keseimbangan waktu. Kemana suara-suara berhiruk-hirukkan di kala siang itu di waktu malam tanpa benderang? Hilangkah, terhenti sementara sambil menunggu siang datangkah, atau entah kemana lalu hanyut di alam bayangan?
Ah! Sayang nian, sayang bana, dan sayang sekali malam itu kelam, itu masih katamu, dan mungkin kata semua orang, Kawan! Tapi tidak sekarang kataku. Malam, sepanjang apapun masanya, semilyar berapapun jumlah titik-titik kelamnya, ada tabir terang tersembunyi di balik titik-titik itu. Sayang, sungguh sayang, Kawan! Mata yang picak tidak dapat menangkapnya—sebab Kamu sudah terlalu lama terjebak dan terpenjara di benderangnya masa siang.
Itukah Kamu, Kawan?

Zamroni Rangkayu Itam ( 01.55 AM )

0 comments:

Posting Komentar