Pages

Senin, 26 Oktober 2009

Ujian Nasib

(Telaah Singkat Tentang "Intan" karya Abdullah Hussein)

Oleh : Zamroni Rangkayu Itam

*****

Seberapa siap seseorang bisa menghadapi perobahan nasib. Dan seberapa besar pula reaksi orang yang satu lingkungan dengan dia? Itulah yang ingin disampaikan Encik Abdullah Hussain dalam novelnya, Intan. Sastrawan besar negara jiran Indonesia itu, Malaysia, secara cerdas menyindir sifat buruk kita, manusia, melalui rangkaian kata yang kocak dan penuh humor sarkastik. Novel ini bukanlah karya yang tebal, sangat tipis malahan, namun padat makna. Di dalamnya diceritakan bagaimana seseorang fakir yang terbenam dalam kefakirannya, dipandang sebelah mata oleh para tetangga, tidak dianggap oleh warga masyarakat sepantasnya, dan yang paling pilu ia terlupakan oleh tangan-tangan kerabatnya sendiri yang seharusnya membangkitkan dia dari jurang kepapaan. Tapi siapa yang nyana, ketika suatu hari kehidupan dia berubah 180 derajat setelah menemukan intan batu mulia—yang entah dari mana asalnya, masuk ke dalam bubu ikannya.

Roda nasib yang berputar secara drastis itulah yang membuat seluruh kampungnya menjadi syok, kaget, dan terkejut, serta tak tahu harus apa yang mereka rasakan mengenai tetangga mereka yang mendadak kaya tersebut. Jamal, demikian nama jutawan baru si penemu intan itu, tak kurang pula syoknya. Bukan karena apa-apa, hanya saja dia yang telah terbiasa miskin tersebut seperti seorang yang mati pucuk ketika anugrah itu datang. Memang secara drastis, kekayaan yang datang tiba-tiba itu tak banyak mengubah perilakunya, ia masih tetap bisa menguasai diri dan tak jatuh dalam sindrom orang kaya baru yang berlebihan. Namun justru kekayaan Jamal itulah yang banyak mengubah orang sekelilingnya. Pak Cin, tetangganya yang super pelit itu mendadak berwajah manis dan berlembut lidah kepada Jamal, kendati semasa Jamal miskin hanya dua kali Pak Cin meminjamkan beras dari 12 kali Jamal mengajukan pinjaman. Begitu juga si dukun kampung, saat Si Jamal miskin, bukan main lagak sibuknya dukun itu, sehingga anak Jamal yang sakit pun tak mau dia menolong. Tapi lihatlah ketika nasib mengubah Jamal, sehat pun anak Jamal, dengan segala alasan manis dia berlagak peduli. Sikap-sikap serupa tak jauh pula dari kerabat famili Jamal. Kalau dulu masih miskin Pak Ngah dan Bu Ngah Jamal bukan main pelitnya dan tiada kentara cueknya, namun kini 180 derajat pula sifat itu berubah…

Itu baru dalam skop kecil, lingkungan sekitar Jamal. Skop yang lebih luas, punya pengaruh yang luar biasa. Masyarakat dari berbagai penjuru berduyun-duyun memasang bubu di sungai. Bukan ikan yang mereka cari, tapi intan. Berharap keberuntungan memihak mereka. Akibatnya, roda dan denyut nadi perekonomian masyarakat menjadi berantakan. Mereka yang dulu bertani, berdagang, kini tidak lagi, berganti dengan memasang bubu dengan sejuta pengharapanan.

Walaupun babak ending dari novel ini berakhir ironis, dimana Jamal tidaklah berjaya dengan kekayaannya, karena intan yang dia temukan ternyata masih mentah, tapi itu sama sekali tidak penting. Babak penting dalam novel ini yang sangat berharga bagi saya adalah pada tataran reaksi orang sekitarnya. Kita bisa melihat watak “asli” manusia pada babak tersebut. Ada watak yang merasa iri, dengki, dan tak kurang juga watak para penjilat yang “rembang mata” atau mencari muka pada si kaya baru. Kita juga bisa melihat bagaimana seseorang bisa mengubur segudang perbuatan dan sikap buruknya, tapi menonjolkan secuil perbuatan baiknya. Pak Cin itu tadi contohnya, bagaimana ia kembali mengingatkan perbuatan baiknya kepada Jamal, bahwa ia pernah meminjamkannya beras sebanyak dua kali, tapi ia lupa bahwa ia pernah dengan tiada perasaan menolak meminjamkan sebanyak 10 kali, kendati saat itu ia memiliki beras berlebih. Begitu juga Pak Ngah-nya, saat Jamal berubah jadi kaya, berulangkali ia bangga mengaku berkerabat dan berfamili dengan Jamal, padahal saat Jamal miskin, haram sesen pun ia bantu kerabatnya tersebut. Inilah sebuah ironi yang menyindir—penyakit yang diidap para tetangga dan kerabat Jamal tersebut bisa jadi juga terjadi pada diri kita sendiri…

Ini memang karya sastrawan negara tetangga kita, tapi nilai moralnya saya rasa berlaku dimana saja. Maka tidaklah heran jika novel ini pernah diadaptasi ke layar lebar di Indonesia dengan dibintangi Benyamin S. dan Rima Melati dengan judul Intan Berduri. Lepas dari itu, di seluruh penjuru bumi barangkali ada banyak Jamal-Jamal lain, Pak Cin-Pak Cin yang lain, atau Pak Ngah-Pak Ngah yang lain, maka semangat moral yang terkandung dalam novel ini sangatlah diperlukan sebagai tamparan halus bagi mereka yang bertebal muka dan yang suka berlembut lidah…

Itu saja, saya rasa!





0 comments:

Posting Komentar