Pages

Rabu, 20 Januari 2010

Rantai yang Terputus




“…Kalau tikus gedongan bisa mengintimidasi petugas hukum, kenapa tikus got tidak bisa mengintimidasi kucing—yang dalam banyak hal hanya bisa mengeong malas??!”

Suatu malam ada sebuah kejadian kecil yang menggelitik hati dan benak saya. Bukan hanya sebatas itu malah, kejadian tersebut tak pelak membuat saya tertawa geli. Apa gerangan kejadiannya? Sebenarnya simpel sih, terlebih bagi orang yang tinggal di pemukiman agak padat. Saat itu saya keluar kosan mencari makan malam, di depan sebuah musholla dekat kontrakan, ada seekor tikus dengan cueknya melintas di depan saya. Tak ada masalah sebenarnya bagi saya, apalagi hanya seekor tikus. Tak perlulah rasanya saya berteriak ber-jijay ria hanya karena makhluk yang sudah sangat familiar itu—atau bahkan, kalau saya mau, dengan gampang tikus itu bisa saya tendang, seperti tendangannya Clerence Seedorf dari negeri kumpeni itu. Tapi itu tidak saya lakukan, perhatian dan pikiran saya tercurah pada pemandangan “aneh” yang membuat hati saya tergelitik…
Kucing. Ya kucing, binatang lucu berbulu yang menggemaskan itulah yang membuat saya tertawa geli. Saat tikus melintas di depan saya, di saat bersamaan juga ada kucing. Kucing itu samo bae dengan tikus—juga tak kalah cueknya. Kejadian seperti ini sering saya lihat selama di Jakarta. Perasaan saya, tabiat kucing di kampung saya—yang jauh di pelosok Sumatera sana, tidak seperti itu. Tak ada tikus yang sempat men-cuekin kucing. Malah tikus di kampung saya selalu berlari menghindari kejaran kucing. Fenomena tikus-kucing cuek-cuekan ini terus terang pemandangan yang lumayan baru bagi saya—yang notabene baru empat tahun berdomisili di Jakarta.
Tikus mencuekin kucing, yang saya ceritakan di atas tadi, adalah tikus got. Saya rasa kita semua tahulah bagaimana rupa dan bentuk dari tikus got; besar, berbulu jarang, dan tentu saja terkadang juga suka mengorek-ngorek tong sampah. Sedangkan kucing, saya rasa kucing tersebut adalah kucing garong. Itu terlihat dari bulunya yang dekil—tidak ada tanda-tanda kalau itu adalah kucing rumahan.
Kita telah belajar Biologi di Sekolah Dasar. Kita tahu kucing dan tikus merupakan bagian dari rantai makanan, bagian dari ekosistem; kucing memangsa tikus dan tikus dimangsa kucing. Itu adalah teori dasar dan hukum alam yang sudah bertahun-tahun diajarkan di bangku Sekolah Dasar. Saya yakin kita semua sudah tahu itu. Tapi apakah kejadian tikus dan kucing saling bercuekan, tikus tidak takut kucing, dan kucing tidak berminat memangsa tikus—merupakan sebuah anomali? Anomali yang hanya terjadi di suatu daerah tertentu, misalnya? Hmm, boleh jadi memang begitu keadaannya.
Kita sudah paham, Jakarta merupakan kota besar yang penuh polusi. Apa saja sudah ter-polusikan di kota Jakarta ini; udara, tanah, sungai, dan tentu saja got-got yang menjadi sarang tikus. Kalaulah kita mau menengok dan memperhatikan got-got yang ada di Jakarta, Naudzubillah bukan main baunya. Got-got yang diisi oleh aneka sampah rumah tangga, atau sampah dari limbah pabrik, sama sekali bukan suasana yang menyenangkan. Siapapun pasti mengakui itu. Tikus, makhluk pengerat yang kehilangan habitat alaminya, yaitu semak-semak kecil, lubang-lubang kecil di rerimbunan tumbuhan, mau tak mau harus menyesuaikan diri dengan lingkungan yang sudah tercemar tersebut. Semak dan lubang-lubang di tanah, secara alamiah jika tidak terkontaminasi, menjadi tempat yang ideal bagi makhluk semacam tikus. Tapi apa boleh buat, Jakarta, dan mungkin kota-kota metropolitan yang lain di Indonesia, harus membuat tikus menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya; hutan Metropolitan.
Kucing cuek dan tidak berminat memangsa tikus, bukan berarti dia sudah kehilangan orientasi dalam berburu. Kucing tidak salah jika dia ”membelot” dari hukum rantai makanan; kucing memangsa tikus. Keadaanlah yang membuat segala sesuatunya terjadi seperti itu. Tikus besar dengan bulu yang jarang, sepintas memang tampak mengerikan—bahkan untuk ukuran kucing yang paling garong sekalipun. Hidup tikus di got-got bau yang penuh sampah, barangkali telah membuat dagingnya alot dan pahit. Ini perkiraan kasar saya loh! Kalau tidak demikian bagaimana mungkin kucing bisa membiarkan tikus lewat begitu saja di depan mata terang dan cakar tajamnya? Apalagi itu alasannya kalau bukan karena daging tikus sudah tidak mengenakkan lagi di lidah kucing. Yah, saya tidak tahu kenapa anomali, yang sejauh ini baru saya temukan di Jakarta, bisa terjadi. Hanya kucing dan tikuslah yang tahu! Atau barangkali kucing keder melihat fisik tikus got yang gede (atau badagok, kata orang Padang). Bisa jadi pula, tikus-tikus mulai berani mengintimidasi kucing karena memang memiliki fisik yang mendukung untuk itu.
Nah! Kalau memang benar begitu, luar biasa sekali Jakarta, punya tikus yang garang-garang. Kucing kok diintimidasi! Barangkali juga tikus got telah banyak belajar dari manusia yag dijuluki tikus gedongan. Bisa jadi, kan? Kalau tikus gedongan bisa mengintimidasi petugas hukum, kenapa tikus got tidak bisa mengintimidasi kucing—yang dalam banyak hal hanya bisa mengeong malas. Hahaha!!

Zamroni Rangkayu Itam
sumber gambar : coach4growth





0 comments:

Posting Komentar