Pages

Jumat, 15 Januari 2010

Kilas Balibo


Kabar mengenai film Balibo telah terdengar di telinga saya dalam interval satu bulan belakangan ini. Berdasarkan berita media elektronik dan kabar mulut ke mulut film yang dibuat sutradara Australia tersebut menyudutkan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Masih menurut kabar yang saya dengar, film tersebut menggambarkan kekejaman tentara Indonesia dalam masa okupasi (invasi) ke Timor Leste pada tahun 1975. Walaupun “panas” Balibo telah mendingin, tapi tak menyurutkan niat saya untuk menontonnya.
Tentu saja film Balibo tidak saya tonton di bioskop ataupun di festival JIFFest, karena memang dilarang oleh otoritas badan sensor perfileman kita. Menurut pihak berwenang Indonesia, film yang berdurasi 111 menit tersebut berpotensi merenggangkan hubungan Indonesia-Timor Leste-Australia.
Terlepas dari alasan tersebut, sebagai penikmat film, larangan peredaran dan pemutaran Balibo justru melahirkan rasa keingintahuan pribadi saya. Apa benar film yang disutradai Robert Connolly itu bisa berdampak begitu besar. Dan untunglah, melalui harddisk komputer seorang teman, film yang mengambil latar asli Timor Leste itu berhasil juga akhirnya saya tonton.
Kabar mengenai isi film Balibo sebelum saya tonton ternyata benar. Film tersebut tak diragukan lagi memang menyudutkan tentara Indonesia. Dalam skala luas menyudutkan Indonesia secara keseluruhan. Sebagai orang Indonesia film tersebut tak perlu terburu-buru kita cap sebagai propaganda kejelekan Indonesia. Siapa tahu film yang dibintang Antonio LaPaglia tersebut separuhnya bisa saja benar, kendati separuhnya bisa pula salah.
Secara umum Balibo menggambarkan perjalanan seorang jurnalis senior Roger East (Anthoni LaPaglia) ke Timor Leste menjelang detik-detik Invasi Indonesia. Dalam proses investigasi mencari keberadaan lima jurnalis muda yang hilang di Timor Leste tersebut, ia bertemu dengan Jose Ramos Horta (Oscar Isaac). Dari Horta itulah Rogert East tahu banyak tentang Timor Leste. Ia tahu posisi Timor Leste yang kini bersiap menghadapi serbuan tentara Indonesia. Termasuk juga kemungkinan telah terbunuhnya lima jurnalis yang tengah ia cari keberadaannya. Keberadaan Rogert East di Timor Leste ternyata hanya mengantarkan nyawa. Ia tewas dieksekusi oleh tentara Indonesia tengah menginvasi negara kecil itu. Sedangkan lima jurnaslis yang ia cari juga mengalami nasib yang sama. Tewas di ujung senapan tentara Indonesia. Balibo juga menyuguhkan gambaran kebrutalan tentara Indonesia yang tanpa pandang bulu menembak setiap orang Timor Leste yang dijumpainya.
Cerita Balibo adalah cerita tentang pembantaian. Pembantaian yang terbalut invasi. Lalu bagaimana kita, sebagai orang Indonesia, memandangnya? Apakah perlu kita marah kepada seluruh orang yang terlibat dalam proses pembuatan film tersebut. Saya rasa tak perlu. Kita berkaca saja dari sejarah awal pembentukan NKRI ini. Menurut sejarah, negara kita yang bernama Indonesia ini berawal dari kesamaan nasib. Sama-sama jajahan Belanda. Negara kita yang ada sekarang ini disebut Hindia Belanda oleh kolonial pada masa itu. Sedangkan Timor Leste adalah wilayah jajahan Portugis, dan pernah dijuluki Portugis Timor. Pada awal-awal mencari jatidiri nasional, salah seorang tokoh, Moh. Yamin, pernah mengusulkan bahwa yang Indonesia itu adalah Melayu—dalam artian Austronesia. Jika konsep Yamin ini diikuti, negara berdasarkan rasial, sebagian Ambon, sebagian besar Papua, dll, tidak termasuk ke dalam NKRI, kendati Malaysia dan Singapura bisa masuk ke dalamnya. Akhirnya konsep kesamaan administratif (sesama wilayah jajahan Belanda) lah yang dikuti.
Kalau kita melirik pendapat Pramoedya Ananta Toer, seorang sastrawan yang ahli sejarah, proses integrasi Timor Leste Indonesia pada tahun 1975, memang sebuah invasi. Pengintegrasian Timor Timur, begitu Indonesia menyebut Timor Leste dahulu, adalah sebuah kesalahan sejarah. Masih menurut Pram, masuknya Timor Leste menjadi provinsi ke-27 adalah kegoblokan besar. Bagaimana bisa negara Indonesia yang terbentuk atas dasar kesamaan nasib, sesama jajahan Belanda, bisa menginvasi wilayah lain yang tidak kena mengena dengan sejarah awal terbentuknya Indonesia. Data tentang banyaknya korban tewas (mencapai angka puluhan ribu) di pihak sipil Timor Leste, bagi kita begitu menyentakkan. Jelas saja tersentak, puluhan tahun kita berada dalam kurikulum pelajaran Sejarah yang berbeda 180 derajat dengan film Balibo.
Segala penggambaran kebrutalan tentara kita boleh jadi dibuat secara dramatis, berlebihan, ada tambahan bumbu sana-sini. Tapi, korban jiwa yang kabarnya menelan hampir sepertiga penduduk Timor Leste itu jelas tak bisa kita kesampingkan. Kita boleh saja tidak percaya film ini. Gambaran kekejaman, kebrutalan tentara Indonesia di film ini membuat sejenak kita malu. Membuat kita muak dan mual. Apa benar sebegitu sadisnya kita. Tapi, melalui fim ini kita bisa tahu bagaimana persepsi orang lain mengenai kita—Indonesia. Khususnya persepsi orang Timor Leste dan Australia mengenai proses pengintegrasian Timor Leste ke Indonesia pada tahun 1975. Dari situ pula kita tahu ada pandangan lain. Tidak hanya pandangan sebagai seorang insider kita ambil, pandangan orang lain sebagai outsider perlu juga kita lirik sebagai perbandingan!


Zamroni Rangkayu Itam


Sumber imej mini poster : wikipedia

0 comments:

Posting Komentar