Rekan saya yang satu ini merupakan sosok intelek. Sepak terjangnya lumayan tajam untuk ukuran mahasiswa. Selain konsen mengkaji dan menuntut kesetaraan jender, ia sangat benci segala sesuatu berbau patriakal. Jangan sekali-sekali meremehkan kemampuannya berdebat. Anda, khususnya lagi para pria, harus berpikir ulang untuk bersikap macho dan jantan di depan teman saya yang satu ini. Selain cerdas, intelek serta tidak terlalu cantik untuk ukuran standar mayoritas para pria, teman saya ini juga garang dalam menyampaikan ide-idenya tentang persamaan hak wanita dan pria.
“Kenapa sih harus ada diskriminasi jender?” tanyanya suatu saat di siang bolong.
“Diskriminasi?” dahi Joni berkerut. Tak setuju dia rupanya dengan kata ‘diskriminasi’.
“Yap, diskriminasi!”
“Diskriminasi bagaimana?”
“Itu, jatah wanita tiga puluh persen di parlemen!”
“Ah! Jangan bawa-bawa topik politik lagi dong! Bosan tauk” kata Joni malas. “Lagi pula berita Pemilu sudah lama lewat!”.
“Oke. Kenapa hanya tiga puluh persen. Kenapa pula tidak dipukul rata saja fifty-fifty,” lanjutnya cuek. Topik masih mengawang di rel politik yang sudah agak basi itu. Ya, dicampur sedikit dengan masalah jender, masalah yang sangat dikuasai oleh rekan saya itu.
“Jon! Menurut lo gimana? Jangan dilihat dari perspektif politik deh, Gua tahu elo bosen, makanya dari perspektif jender aje. Ayo, menurut lo gimana?” burunya sambil menepuk lembut pipi Joni yang tirus.
“Baguslah, udah dapat tiga puluh persen juga. Udah dikasih jengkol, masih aja pengen pete. Di Arab Saudi, ngedapetin SIM aja susahnya minta cium, eh maaf, minta ampun. Gituh!!”
“Serius, Jon. Gua nggak becanda neh! Bodo amat sama Arab Saudi. Ini masalah di negeri kita, Jon. Indonesia”
Joni tidak menjawab. Seperti yang saya katakan tadi, semua pria yang ada di dekat teman saya yang satu ini, biasanya menjaga mulut lebarnya untuk tidak meremehkan wanita. Joni, yang juga salah satu teman jauh saya, tampaknya paham betul anjuran tersebut. Dan kalau pun harus menjawab, kata-kata yang terucap haruslah dipilah-pilah dulu. Jangan sampai harga diri kewanitaannya tersinggung. Maklumlah, Joni tipe pria agak bunglon. Di depan wanita sikapnya manis sekali. Di belakang, omongannya tentang wanita selalu panas dan bergairah. Mmhhh. Memang itulah Joni adanya. Hipokrit kadang-kadang.
“Menurut gue sih, itu bukan diskriminasi. Tapi, lebih kepada kesadaran pemerintah. Banyak wanita Indonesia belum memadai secara SDM. Untuk itu kalian, wanita, belum bisa disamaratakan dengan kaum pria” ujar Joni hati-hati.
“Kata siapa!” rupanya rekan saya itu tidak bisa menerima pendapat Joni. “Itu kata elo, atau kata pemerintah, Jon?”
“Kata pemerintah”
Sebenarnya kata itu murni keluar dari mulutnya. Tapi, ya, seperti yang saya katakan tadi, jangan terlalu jauh berdebat dengan wanita yang sensitif jika membahas masalah persamaan jender. Joni paham itu, walau terkadang dalam prakteknya dia kelihatan sama sekali tidak paham apa yang dia pikirkan. Tentu Anda bisa menebak seperti apa sifat Joni sebenarnya.
“Nah, itu dia yang namanya stigma!” kata rekan saya itu keras. Saking kerasnya, air liurnya memancar ke udara. Untung saja ia tidak terjangkit flu burung atau yang paling baru, H1N1 alias flu babi. Jadi, Joni bisa santai melongo melihat percikan kecil air liur mengudara di depan matanya.
Dengan intonasi suara yang mulai menurun, rekan saya itu ngoceh lagi, kendati masih terdengar cukup keras, “Stigma. Stigma brengsek!! Pandangan yang sepenuhnya hanya didasarkan mitos bahwa wanita itu inferior, sedangkan pria itu superior. Wanita lemah, lembut, berada di wilayah domestik, dan yang diayomi, sedangkan pria itu kuat, macho, tugasnya di wilayah publik, dan seorang pemimpin…”.
“Tapi itu kan, ada benarnya juga,” kata Joni setengah berbisik.
“Benar taik kucing!” dampratnya semangat. Di wajahnya terlihat sepasang bola mata merah menyala. Barangkali rekan saya itu habis begadang semalam.
Joni tak menanggapi.
Rekan saya itu masih ngoceh, “Coba lu pikir, Jon, wanita dan pria itu kan saling membutuhkan. Kenapa simbol mutualis itu harus berat sebelah? Dalam banyak hal, banyak ketidakadilan yang diperoleh wanita. Tak perlu lah gua bilang satu-satu ke elo sekarang. Gua lagi males ngomong banyak…”
“Busyet dah!” kata Joni dalam hati. Wajar saja Joni ber-Busyet-an, sedari tadi kan dia cuma jadi pendengar yang baik, sambil sesekali menimpali.
Maka jangan heran ketika sesampainya di depan halte bis, dan kebetulan ada bis lagi ngetem di sana, Joni merasa tak perlu berlama-lama lagi menjadi pendengar yang budiman. Tanpa banyak cincong, dia melangkahkan kakinya ke bis kota yang mulai butut itu.
Mereka berdua memang menaiki ke bis yang sama. Joni yang berbadan semikurus sekaligus semigendut itu dengan sigap melemparkan pantatnya ke satu-satunya kursi bis yang kosong. Namun, sayang, tidak demikian dengan rekan saya yang wanita itu. Mau tak mau ia harus berdiri. Mau apa lagi bangku sudah penuh semua. Walaupun begitu, tak urung pandangannya disapu juga ke arah Joni. Dengan senyum dibuat-buat semanis mungkin, ia berujar lembut;
“Jon, lo aja yang berdiri deh! Masak lu tega sama gue. Gue kan cewek, ingin dimengerti dong, pastinya!”
Joni yang sudah aman dan nyaman dengan kursi bis langsung mengerti. Tak tahulah kenapa dengan cerdasnya Joni memahami situasi seperti itu. Atau, barangkali Joni memang tipikal pria patriakal, pelindung para wanita. Apakah benar demikian? Hanya Joni yang tahu jawabannya. Posisi mereka di bis memang telah berganti. Sekarang Joni berdiri, sedangkan rekan saya wanita ahli jender itu, dengan nyaman duduk di kursi bis.
Sambil berpegangan pada pintu bis bagian belakang, Joni meneriakkan kemenangannya dalam hati. Ya, kemenangan. Barangkali kemenangan simbolis dia sebagai pria. “Yaelahh! Dasar munafik! Ingin mandiri kok hanya sebatas kata…” gumam Joni dalam hati. “Hipokrit!” kali ini masih juga dalam hati, Joni bergumam lagi, “gimana mau mandiri, jika rasa ingin dimengerti selalu dituruti…”.
Nah, itu dia! Kenapa kagak ngomong keras-keras, Jon? Kenapa Dikau biarkan saja kehipokritan itu terjadi. Jon, Jon. Memang, Joni tetaplah Joni. Barangkali di hatinya, kemunafikan seperti itu layak dilestarikan.
Dan mungkin seperti itulah diri kita agaknya…
Zamroni Rangkayu Itam
0 comments:
Posting Komentar