Pages

Jumat, 27 November 2009

Bukan Sekedar Pembantaian Massal


Hari ini 27 November, bertepatan dengan 10 Dzulhijjah tahun Hijriah, adalah hari Raya Kurban. Hari raya itu disebut juga dengan Raya Haji, karena memang bertepatan dengan pelaksannaan ibadah haji bagi umat Islam sedunia. Haji dan Kurban adalah ibadah yang sarat muatan simbolis. Dalam praktek ritual baku haji, kita mengenal salah satunya adalah melempar Jumrah, simbol untuk menyingkirkan rasa “keSetanan” dan “keIblisan” dari jiwa kita. Begitu juga dengan Sa’i, yaitu berlari-lari kecil antara Shafa dan Marwa, yang melambangkan kasih sayang Siti Hajar kepada anaknya Ismail—simbol kasih ibu kepada anak. Sedangkan dalam Kurban yang dilaksanakan oleh umat Islam, kita bisa kembali melacak secara historis bahwa tradisi tersebut berasal dari nabi Ibrahim yang disuruh Tuhan mengorbankan putranya, kendati akhirnya diganti dengan seekor kambing. Secara tersirat, tradisi ibrahimi itu mengajarkan rasa syukur dan takwa kepada Tuhan melalui medium kurban. Tak kurang pula tradisi tersebut mengajarkan rasa pengorbanan yang tinggi di pihak sang bapak (baca : Ibrahim) dan rasa patuh dari sang anak, Ismail.
Hari ini, kita akan menyaksikan jutaan liter darah tertumpah meruah ke permukaan bumi. Kambing, domba, sapi, dan juga kerbau, akan menjadi “tumbal” kurban untuk memuliakan Tuhan, sekaligus menghantarkan semua jenis makhluk tersebut menghadap sang Pencipta. Ibadah kurban, dalam konteks kekinian sering kita kaitkan dengan hari menyantuni orang fakir-miskin. Daging kurban bagi masyarakat yang tak mampu menjadi hari yang tepat untuk bisa menikmati sedikit kemewahan hidangan meja makan. Sekali setahun, dan, hari itu adalah hari ini. Kaum papa bisa mendapatkan sedikit berkah dari hari raya yang benama Idul Adha itu.
Hari raya kurban, boleh juga kita pandang sebagai sebuah momentum. Waktu yang tepat secara simbolis menunjukkan rasa kepedulian kepada sesama yang kurang beruntung. Merayakan Idul Adha dalam konteks zaman kekinian akan kering makna tanpa dikaitkan dengan masalah sosial. Harus ada banyak dimensi positif yang bisa diraih dari momentum sekali setahun itu. Momentum itu ada baiknya selalu bermuara kepada kebaikan.
Momentum, bagaimanapun selalu bisa menjadi waktu yang baik dan tepat. Begitu juga dengan hari Raya Kurban. Nuansa sosial bagi saya  adalah efek yang paling baik untuk dikembangkan. Memang ibadah kurban pada mulanya secara simbolis sangat sarat dengan simbol pengabdian kepada Tuhan. Namun, sebagai sebuah tradisi dengan muatan ibadah vertikal, kurban sangat terbuka kepada dimensi sosial—ibadah horizontal. Sebagaimana yang kita tahu, bagi kaum fakir-miskin, momen kurban memberikan sedikit kesempatan kepada mereka menikmati sedikit kemewahan hidangan  di hari raya.
Hari ini, jutaan orang berpunya seluruh dunia mengantarkan kurban mereka ke lapangan jagal. Sangat disayangkan jika hari ini tidak dipandang sebagai sebuah momentum baik. Sungguh keliru jika hari raya kurban hanya dianggap sebagai hari memberikan daging kepada para fakir-miskin. Hari yang datang hanya sekali dalam setahun. Hari berbagi yang hanya dipandang sebatas seremonial belaka.
Hari ini, tanggal 27 November Masehi, atau 10 Dzulhijjah Hijriah, adalah momentum untuk mulai melebarkan sayap dimensi sosial hari Raya Kurban. Dimensi sosial yang saya maksud bukan untuk hari ini saja, tapi lebih kepada kesinambungan spirit Idul Kurban itu sendiri. Tanpa pemaknaan seperti ini, hari raya Idul Kurban akan kelihatan hanya sebatas hari penjagalan massal para hewan saja. Tanpa memasukkan unsur dimensi sosial, hari Raya Kurban dari sudut pandang mata sempit, seolah hanya penumpasan darah yang menyungai. Genosida para hewan, hari konsumsi daging secara massiv dan serentak. Dan, itu terasa kering di hati serta kerontang di makna.
Wallahua’lam bisshawab!

Zamroni Rangkayu Itam


0 comments:

Posting Komentar