Senin, 09 November 2009
*****
Ah, mereka terlalu sensitif!
Ada-ada saja Indon ini tuntutannya, kita kan tidak berniat menghina…
Kira-kira lebih kurang begitulah bunyi komentar beberapa forumer yang berasal dari Malaysia menanggapi beberapa thread diskusi dunia maya mengenai protes kita, orang Indonesia, mengenai sebutan indon. Mereka mungkin ada benarnya. Saya tidak tahu persis kapan sebutan itu ada di Malaysia, yang pasti, setahu saya, bagi media cetak khususnya, sebutan indon dapat menghemat ruang dalam sebuah headline surat kabar bersangkutan. Di dalam sebuah artikel di myindo.com, ada pakar bahasa di Malaysia yang mengatakan bahwa memang benar sebutan indon bagi orang Indonesia tidak ada pretensi menghina di dalamnya.
Kalau saya secara pribadi, sebutan indon, terus terang tidak sedap dan tidak menyenangkan, sangat tidak nyaman di telinga, meskipun saudara-saudara kita orang Malaysia tidak ada niat menghina. Menyikapi hal ini, pada awalnya, saya memang agak sedikit bingung menyikapi apakah saya-nya yang sensitif atau apa. Tapi, setelah mendengar pendapat beberapa teman, ternyata mereka merasakan hal yang sama dengan saya.
Gejala seperti apa ini sebenarnya. Di satu sisi—saya, dan bahkan mungkin banyak orang Indonesia yang lain yang tidak merasa nyaman dengan sebutan indon—sedangkan di pihak lain, orang Malaysia mengaku tidak berniat melecehkan kita dengan sebutan indon, sehingga mereka tidak merasa bersalah. Ini masalah pelik memang. Mungkin saudara-saudara kita di Malaysia menganggap masalah ini sepele, masalah kecil, tak perlu dibesar-besarkan, serta menganggap kita terlalu sensitif. Tentu, sah-sah saja mereka berpendapat demikian karena mereka orang Malaysia, bukan orang Indonesia.
Sebagai orang Indonesia, kita sah-sah saja merasa tersinggung dengan sebutan yang tidak menyenangkan kita, asal kita jangan terjebak dalam sakit hati yang keterlaluan. Sebagai orang Indonesia, kita tahu bagaimana susahnya pendahulu kita memperjuangkan nama Indonesia itu. Bukan seratus, bukan seribu nyawa yang melayang akibat menegakkan nama Indonesia pada zaman pra-kemerdekaan, tapi berjuta nyawa. Kita tahu, bagaimana para pemuda dalam Kongres Pemuda II pada tahun 1928 harus menahan hati dengan pedih untuk tidak menyanyikan lagu Indonesia Raya karena dalam lagu tersebut banyak kata ”Indonesia” dan ”Merdeka”, sehingga bisa mengundang reaksi kolonial.
Kita jelas tidak bisa menuntut lebih dari saudara-saudara kita di Malaysia supaya jangan memanggil kita indon. Jika mereka mengubah, ya syukur. Kalau tidak, mau diapakan lagi. Membalas mereka dengan sebutan ”Malon” jelas bukan jalan yang terbaik. Mungkin dengan tidak mengambil hati atas sebutan indon tersebut bisalah kita pertimbangkan, kendati sungguh berat—bahkan bagi seorang Taufik Abdullah, sejarawan kondang negara kita. Sebutan indon pula yang membuat Taufik Abdullah marah di tanah suci hanya karena dia ditanya orang Malaysia ”orang indon atau bukan”.
Kita tidak boleh terjebak dalam sakit hati yang berakibat buruk. Besar kemungkinan, ini pula yang telah dilakukan oleh saudara-saudara kita orang Indonesia yang bekerja di Malaysia. Mereka mungkin telah berjaya menebalkan telinga, me-manage hati mereka untuk tidak marah dan tersinggung disebut sebagai indon. Tidak mungkin kan menegakkan kepala, memasang muka menantang, di negeri orang yang menyebut mereka indon?
Memang perkara seperti ini sepatutnya tidak terjadi. Tapi apa daya, kita tidak bisa mengatur dan mengontrol orang lain untuk berkata apa dan bersikap apa tentang kita. Jalan terbaik, ya, terpulang kepada kita semua. Baik orang Indonesia ataupun orang Malaysia. Komunikasi yang baik diantara dua negara mungkin bisa sedikit mengurangi tensi dari masalah yang kata Mereka sepele ini.
Sebagai bahan renungan, ada baiknya kita semua berkaca dari teori butterfly effect. Adalah Edward Lorenz yang melakukan riset mengenai perubahan iklim akibat kepakan kecil kupu-kupu. Kepakan kumpulan kupu-kupu yang ada di Brazil, secara ajaib bisa menimbulkan badai tornado di belahan dunia lain. Mungkin pula ada yang menganggap ini mengada-ada. Bagaimana mungkin kepakan kupu-kupu sepele seperti itu bisa menimbulkan badai tornado? Penjelasan sederhananya, kepakan kupu-kupu secara tidak langsung berpengaruh kepada iklim kosmik, kemudian lantas setelah serangkaian kejadian natural kosmik lainnya, terjadilah badai tornado. Saya tidak tahu apakah analogi ini cocok atau tidak. Sebutan indon, yang bagi warga Malaysia tak ada tendensi menghina di dalamnya, bolehlah disamakan dengan kepakan sepele kupu-kupu yang menuruti kodrat alamnya. Tapi akibatnya, badai ketersinggungan terjadi di belahan lain, yaitu Indonesia. Untuk hal yang kecil seperti ini ada baiknya (baik mereka orang Malaysia, dan kita orang Indonesia) bisa bersikap secara arif.
Zamroni Rangkayu Itam
0 comments:
Posting Komentar