Pages

Kamis, 31 Desember 2009

Selamat Jalan, Gus!


…Ada tiga orang tahanan dalam satu sel. Ketiganya bersosialisasi satu sama lain. Yang pertama kali mereka lakukan tentu memperkenalkan diri dan menceritakan sebab apa mereka dipenjara. Tahanan pertama mengaku ditangkap dan dipenjara karena anti Che Guevara, tokoh revolusioner sosialis Amerika Latin. Lalu tahanan kedua mengaku dia diciduk dan lantas mendekam di hotel prodeo justru karena pro Che Guevara. Setelah kedua tahanan mengenalkan dirinya masing-masing, tahanan ketiga lantas cepat menukas bahwa dia ditangkap karena dia adalah Che Guevara itu sendiri…
Paragraf di atas adalah guyonan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur kepada Fidel Castro, presiden negara komunis, Kuba. Guyonan tersebut lantas mengundang tawa bahak presiden yang terkenal angker dengan janggutnya itu. Guyonan tersebut juga membuat Castro terperangah. Menurut Castro, bagaimana bisa presiden Gus Dur yang memimpin lebih dari 200 juta penduduk dengan segenap masalah akutnya masih bisa melemparkan humor segar, sedangkan Kuba sendiri yang hanya 11 juta jiwa, susahnya bukan main dan selalu memeningkan kepalanya selaku presiden Kuba. Wajar saja Castro heran. Sebab, ia tidak tahu bahwa bagi Gus Dur, yang besar dalam lingkungan pesantren, telah lama menganggap humor adalah tradisi yang mengakar untuk melupakan sejenak segala kesusahan dan kesukaran hidup…
Gus Dur memang lekat dengan imej santai dan humor. Bicara pun dia apa adanya, cenderung tanpa tedeng aling. Guyonan yang membuat Fidel Castro terbahak itu pun lahir dari suasana yang santai. Ketika tiba-tiba saja Castro mampir ke hotel beliau di sela-sela konfrensi G-77 di Havana, Castro disambut dengan sambutan seadanya, dengan celana pendek dan baju kaus. Santai sekali, tanpa protokoler ini-itu. Istana Negara pun saat beliau menjabat sebagai presiden mendadak kehilangan “keangkeran”-nya. Bagaimana mungkin orang bisa berkunjung ke istana dengan busana koko-sarung plus sandal jepit saja? Dan, itu hanya terjadi pada masa kepresidenan Gus Dur. Dari sisi lain kita mungkin masih ingat ketika beliau tanpa sungkan dan takut mengatakan bahwa antara anak TK dan anggota DPR tidak jelas perbedaannya. Celetukan yang tidak mengenakkan anggota dewan itu lantas mengundang protes. Tapi dasar Gus Dur, protes itu pun dibalas dengan celetukan lagi, “gitu aja kok repot!”.
Tak hanya dalam situasi santai, dalam situasi serius saat menjadi presiden pun Gus Dur acap kali mengomunikasikan kebijakannya dengan suasana santai. Mahfudz MD misalnya, pernah bingung saat penunjukannya sebagai Menteri Pertahanan (Menhan). Jelas saja Mahfudz MD bingung, sebab dia tidak punya latar belakang militer, kok tiba-tiba ditunjuk sebagai Menhan. Tapi Gus Dur santai saja menjawab kebingungan calon pembantunya itu, “Lha saya juga tidak punya latar belakang presiden, tapi bisa menjadi seorang presiden. Masak kamu tidak bisa!”.
Kini, sang kiai yang mantan presiden ke-4 Republik Indonesia itu telah berpulang ke sisi-Nya, setelah seminggu sebelumnya melakukan ziarah ke makam orang-orang tercinta. Sekilas kata di atas tadi hanyalah secuplik kecil imej santai beliau yang tak mungkin terhapus dari ingatan kolektif bangsa ini. Masih banyak warisan pemikiran baik dan serius yang beliau tinggalkan untuk kita jaga dan kembangkan. Seperti demokrasi dan persamaan hak semua warga negara Indonesia, misalnya.
“Demokrasi itu bukan hanya tidak haram, tapi wajib dalam Islam. Menegakkan demokrasi itu salah satu prinsip Islam, yakni syuro.” Itu perkataan beliau mengenai hubungan Islam dan Demokrasi. Dalam persaman hak sebagai warga negara, beliaulah yang melegalkan etnis Tionghoa Indonesia untuk melakukan ibadah dan mengembangkan kultur mereka secara bebas. Tak heran jika masyarakat Tionghoa Indonesia mengangkat Gus Dur sebagai Bapak Tionghoa.
Ya, Gus Dur yang sering berpandangan kontroversial itu telah berpulang! Kita yang tinggal dan masih hidup tinggal menimbang dan menggali segenap pikiran dan sumbangan beliau terhadap bangsa ini. Beliau telah berpamit pulang untuk menghadap-Nya. Dan, beliau tidak perlu repot lagi berpikir dan mengurus bangsa ini. Tugas itu telah terpulang kepada kita yang ditinggalinya…
Selamat jalan, Gus! Semoga selamat sampai TUJUAN…


Zamroni Rangkayu Itam

0 comments:

Posting Komentar