Pages

Sabtu, 05 Desember 2009

Malam 'Idle'


Engkau masih duduk di sana—memandangi langit tak berbintang. Jarum jam telah menunjukkan telah lewat tengah malam. Perlahan tapi pasti, sang waktu pun terus beranjak. Kau masih tetap duduk disana, di depan kamar kontrakanmu yang sempit. Lampu teras depan kamar yang sedari tadi mengganggumu terpaksa kau matikan. Kau bukannya suka kegelapan, tapi duduk di tengah malam di depan kamar kontrakan, bukanlah pemandangan yang bagus jika dilihat peronda malam. Bisa-bisa dikira orang gila, begitu pikirmu. Kopi di gelasmu kini mulai kosong, cuma ampasnya saja yang tersisa. Walaupun begitu, di tanganmu masih terselip rokok yang sedari tadi setia menemanimu. Lagu Prince of Darkness-nya Megadeth masih mengalun dari dalam kamar, tak menarik perhatianmu. Pikirmu; orang insomnia macam apa yang tengah malam begini serius mendengarkan lagu-lagu metal?
Apa yang sedang engkau pikirkan? Apakah kau hanya sekedar insomniac biasa yang susah tidur di malam hari? Adakah kamu memikirkan sesuatu sedemikian seriusnya hingga tak menyadari sang waktu beranjak merayap begitu cepat? Pada dasarnya, pertanyaan-pertanyaan tersebut juga menggeluti relung hatimu, namun sayang sepertinya kamu sendiri tak berminat mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Tiba-tiba kau beranjak dari dudukmu dan masuk ke dalam kamar. Pintu kamar kamu biarkan saja tetap terbuka. Apa yang akan kau lakukan sekarang? Mengakhiri renunganmu? Oh, ternyata tidak! Kau masuk cuma sekedar untuk memanaskan air. Rupanya kamu berniat menyeduh kopi kembali, dan itu berarti kamu akan melanjutkan renunganmu di depan kamar. Benar saja. Tak lama kemudian, engkau kembali duduk di tempatmu semula. Kembali sepertinya dia menatap langit. Masih tak ada bintang di langit malam, begitu mulutmu bergumam. Sayup-sayup sepertinya kamu memasangkan telinga—mendengarkan suara orkes dangdut yang tidak jauh dari kontrakan, tapi tak lama kemudian hanya hembusan asap rokok tebal yang keluar dari mulutmu. Tak sedikit pun rupanya ada niat beranjak dari tempat tersebut.
Pandangannya tiba-tiba beralih ke arah depan kamar sebelah. Terlihat seekor kucing garong dengan cueknya mengorek-ngorek tong sampah—sehingga sampah yang ada di dalamnya berserakan. Dengan refleks, mulutmu mengusir kucing garong tersebut; “Hush! Hush…!! Teriakmu tertahan, takut menganggu tetangga sebelah yang lagi tidur. “Dasar kucing garong, bisanya cuma mengorek sampah! Tikus got sana embat,” omelmu sambil menangkap kucing tersebut, lalu menjauhkannya dari kamar kontrakan.
Tak lama setelah itu, engkau kembali ke tempatnya semula. Duduk seraya menyalakan lagi sebatang rokok. Matamu tertumbuk pada pohon mangga tak jauh dari tempat dudukmu. Tampak buah mangga tersebut mulai beranjak tua, barangkali sebulan lagi matang. Kalau engkau mau, tentu dengan mudah buah mangga itu bisa kamu ambil. Kamarmu memang ada di lantai dua, cukup dengan menjulurkan tanganmu yang panjang dari sisi kamar, sudah cukup bagimu untuk pesta mangga. Tak perlu penggalah untuk itu. Ternyata buah mangga itu pun tak menarik perhatianmu. “Emangnya kampret, nyolong mangga malam-malam,” barangkali itu yang ada di pikiran misteriusmu. Tapi benar saja, tak lama kemudian tampak daun-daun mangga bergerak. Sepertinya ada kampret nongkrong di situ menikmati mangga. “Dasar kampret!” teriakmu lagi setengah tertahan. Tangannya mengambil sesuatu dan melemparkannya ke arah gerombolan kampret yang ada di pohon mangga tersebut.
Braakkk….
Terdengar jelas sebuah benda beradu dengan daun dan ranting pohon mangga. Kampret-kampret itu pun kabur terbang mencari tempat gelantungan yang lain. Beberapa detik kemudian, engkau tersadar. Ternyata yang kau lemparkan tadi tak lain dan tak bukan adalah sandal. Ya, New Era yang setia menemanimu kemana-mana telah menjadi “batu” untuk melempar kampret pohon mangga. “Kampret!” begitu umpat ringkas, dan kali ini dengan suara yang cukup keras. Sandal tersebut sepertinya tersangkut di pohon mangga. Engkau tetap tidak beranjak dari dudukmu. Tak ada niat darimu rupanya untuk mengambil sandal itu kembali. Barangkali kamu takut manjat pohon mangga itu malam-malam, takut ketahuan peronda, bisa disangka maling.
Rokok di jepitan tangannya pun perlahan beranjak jadi puntung. Dengan santai dan cueknya rokok tersebut kau buang ke arah tong sampah tetangga sebelah, bukan tong sampah yang ada di depan kamarmu sendiri. Dasar!
Lagi-lagi engkau kembali masuk ke dalam kamar. Apa pula yang akan kau lakukan? Hmm, ternyata kamu hanya mengganti lagu. Rupanya suara cadas Dave Mustaine tak lagi menarik di telingamu. Tengah malam begini dengar Megadeth? Dave Mustaine si vokalis barangkali sedang enak-enakan tidur sambil ngelonin istrinya yang bohai itu! Tak lama lagu kemudian berubah ke aliran lain. Terdengar suara melolong-lolong seperti anjing Eddie Vedder dengan The wolf-nya. Sungguh aneh lagu yang engkau putar barusan. Untuk sekedar diketahui, lagu itu adalah soundtrack sebuah film yang juga aneh dengan judul Into the wild—sebuah film yang mengisahkan seorang pemuda yang bosan dengan segala rutinitas kemoderenan, sehingga membuatnya memutuskan untuk menyepi ke hutan, hidup layaknya orang primitif.
Dari lagu engkau mengarahkan pandangan ke dispenser. Terlihat lampu  kecil kuning menyala di sana, menandakan air sudah panas, berarti kopi sudah bisa diseduh. Pandangan tersebut berubah jadi aksi. Dengan sigap kau mengambil kopi lalu memasukkannya ke gelas yang masih ada ampas kopinya. Luar biasa. Benar-benar praktis. Tanpa perlu mencuci gelas, kopi dengan cepat tersaji. Semua itu kamu lakukan dalam diam, tanpa kata. Memang kau harusnya diam, sebab hanya kau sendiri berada di kamar tersebut. Kalau engkau berkata-kata dan berbicara sendiri, akan menimbulkan gosip yang tak sedap jika terdengar tetangga sebelah, yang barangkali sedang nonton film bokep. Ini masih “barangkali”, masih sebatas dugaan, namun sebenarnya kemungkinan itu kecil—sebab tak ada suara-suara aneh yang mencurigakan dari kamar sebelah.
Dengan kopi di tangan kananmu,  dan sebatang rokok yang belum dibakar terselip di bibir semihitam-mu, engkau kembali lagi keluar kamar. Duduk kembali di tempat semula. Rokok yang terselip di bibirmu tadi kau pindahkan ke jepitan tangan. Tak ada tanda-tanda kau akan membakar rokok tersebut. Mungkin sudah sesak dadamu sedari tadi digempur asap-asap nikotin yang katanya mematikan itu. Bagi perokok sepertimu, ancaman tersebut selalu dianggap sebelah mata. Tak ada ketakutan di mata perokokmu, betapa pun bahayanya rokok. Bagi perokok, ketakutan akan tiadanya rokok jauh lebih besar dari bahaya rokok itu sendiri. Barangkali inilah alasan kenapa semakin menjamurnya produk-produk rokok di seluruh negeri ini. Perokok lebih takut kepada hilangnya rokok ketimbang bahayanya.
Kembali engkau menatap langit. Masih tak ada bintang di sana. Sebenarnya malam ini tak terlalu gelap. Ada bulan di atas sana, terselip malu-malu di kelamnya kabut malam. Kau sepertinya masih betah berlama-lama di situ. Kopi yang kau seduh barusan belum juga kamu minum. Barangkali engkau menunggu kopi agak dingin dulu. Tapi apa enaknya minum kopi yang hampir dingin? Bukankah kopi hangat lebih nikmat? Terlebih lagi di tengah malam seperti ini. Apa gerangan yang ada dipikiranmu? Sehingga mempersetankan belaian dingin angin malam di tubuhmu, yang bisa saja membuatmu sakit atau paling tidak masuk angin? Adakah persoalan itu sedemikian kompleks dan berat? Ah, dari bola matamu, di cermin kamarmu sendiri, engkau sendiri pun sulit untuk menebak.
Adakah engkau sedang memikirkan persoalan pribadi dengan seseorang, permasalahan cinta, misalnya? Dari rautnya mukamu, sepertinya tidak. Tiada roman muka berubah-rubah dari tadi. Tatapanmu cenderung melurus ke depan, seraya sesekali menoleh ke atas, samping kiri dan kanan. Tak ada pertanda jika kamu lagi bermasalah soal asmara. Sedikit pun tidak. Barangkali engkau memikirkan negara? Busyet! Yang benar saja, ada anak bangsa malam-malam begini tidak bisa tidur, duduk bermenung di depan kamar kontrakan, menghabiskan berbatang-batang rokok, menandaskan kopi bergelas-gelas, karena memikirkan permasalah besar negara? Hahahahaa… sungguh beruntung negeri ini mempunyai anak bangsa seperti itu. Tapi, rasanya tidak! Bukan itu persisnya yang engkau pikirkan. Dari mukamu, tak ada tampang seorang aktifis politik. Tak ada muka marah membara akibat kekacauan yang melanda negeri tercinta baru-baru ini. Di wajahmu hanya terlihat tampang seorang anarkis yang selalu enggan terikat dengan sistem-sistem birokrasi manapun. Dari mukamu hanya ada reaksi statis, tidak berubah-rubah. Tidak murung, tidak pula gembira.
Rokok di tanganmu pun mulai kau bakar. Kembali kepulan asap mengangkasa menambah polusi. Kopi yang beranjak dingin pun mulai kau seruput dengan nikmat. Tak peduli sekali dikau rupanya walau kopi itu sudah dingin. Ah, barangkali engkau cuma seeorang pengidap insomnia belaka. Bukankah insomnia itu ada sebabnya?
Mungkin engkau tidak bisa tidur karena akan mengerjakan tugas? Tugas kuliah, tugas kerja, barangkali? Hahahaha!! Orang macam apa pula itu, menghabiskan waktu berjam-jam hanya duduk diam di depan kamar kontrakan? Kalau memang ada tugas, bukanlah lebih baik dikerjakan, biar cepat selesai? Sungguh aneh menghabiskan waktu seperti itu. Hmmm, rasanya bukan itu pula alasanmu. Seperti dikatakan tadi, raut wajahmu statis, tak berubah-rubah, tak ada tanda-tanda dia lagi berpikir keras.
Waktu semakin jauh beranjak. Sebentar lagi fajar segera menyembul di ufuk timur. Sepertinya engkau menyadari tak lama lagi banyak orang lalu lalang di depan kontrakanmu—menuju mesjid untuk sholat subuh atau para pedagang sayuran yang bersiap membawa barangnya ke pasar. Dengan gelas kopi di tangan dikau masuk ke dalam kamar. Kali ini pintu kamu tutup, gorden jendela pun tak lupa dikau tutup pula. Akankah kau melanjutkan renunganmu di dalam kamar? Jawaban tersebut memang ada di dalam sana.
Perlahan engkau menggerak-gerakkan badan, lalu dilanjutkan dengan push-up tak terlalu lama. Kamu bangkit dan menuju meja tulis. Terlihat laptop yang sedari tadi setia mengalunkan lagu demi lagu. Di layar monitor hanya terlihat program Office Word—yang ternyata kosong. Belum ada satu kata pun terketik di sana. Nyaris tak terdengar, dikau bergumam kesal; “Apa yang harus ditulis? Dari tadi tak satupun ide masuk ke kepala!”
Ah! Rupanya sedari tadi engkau hanya mencari ide tulisan. Barangkali karena malam ini tak ada bintang, di malam ini pula dikau tak ada ide tulisan.  Santai tapi pasti engkau mulai memencet-mencet kibor laptop. Tertera jelas sebaris kalimat judul;
Malam Ini Tak Ada Ide”.

******
Zamroni Rangkayu Itam
 


0 comments:

Posting Komentar